Laporan Tentang Persiapan Pembuatan Filem "Lewat Djam Malam"

Pembaca yang membaca harian atau majalah tentu telah mengetahui, bahwa beberapa bulan yang lalu dua perusahaan filem Indonesia Persari dan Perfini telah memulai pembuatan filem Lewat Djam Malam, sebuah filem yang pada awalnya diperuntukkan bagi festival filem Asia di Tokyo tapi karena sesuatu halangan filem itu tidak jadi dikirimkan.

Meskipun sekarang ini filem tersebut tidak lagi dipertunjukkan di bioskop-bioskop, namun para pembahas filem telah menuliskan banyak artikel yang menyinggung filem itu dalam surat kabar-surat kabar, majalah-majalah, dan juga dalam halaman Gelanggang ini kita dapat melihat kutipan-kutipan dari adegan yang terdapat dalam filem. Dalam tulisan-tulisan yang telah saya sebutkan tadi, terbayang semacam harapan atas baiknya filem ini. Hal ini dapat dimengerti karena filem ini tak dimaksudkan hanya untuk memperoleh keuntungan semata –ia tidak dibuat sebagai sebuah filem komersil. Apakah harapan ini kelak akan terpenuhi tidaklah dapat dikatakan sekarang karena sebuah filem baru dapat disebut selesai jika ia telah ditayangkan di atas layar putih depan kita. Biarpun saya telah mendapat kesempatan untuk menonton beberapa potongan adegan yang telah jadi, toh tidaklah berarti hal itu dapat menentuan penghargaan terhadap filem tersebut.

Lewat Djam Malam (1954) Salah-satu-adegan

Apa yang saya tulis di bawah ini adalah hasil dari pelbagai percakapan dengan beberapa tokoh Persari dan Perfini yang terlibat dengan persiapan filem ini. Mula-mula, tulisan ini akan saya diamkan saja sambil menunggu filem itu selesai dibuat. Tapi ada faktor lain yang menyebabkan saya menuliskan tulisan ini –lebih kurang terlepas dari hasil yang dicapai oleh Persari-Perfini dalam filem ini kelak. Sebagai sebuah ‘usaha’ menarik perhatian. Karena dari percakapan yang mereka lakukan dapat kita rasa bagaimana mereka mencoba mencari jalan dan karena dari usaha ini kelihatan bahwa menulis sebuah skrip filem tidaklah mudah dan bahwa membuat sebuah filem yang baik lebih lagi sulit dari itu. Biarpun pada sebuah filem seni biasanya ada tokoh yang ‘mempengaruhi’, suteradaranya atau pengarang ceritanya atau juru kameranya, tapi toh filem adalah hasil dari suatu kerja bersama, sehingga jika salah seorang dari mereka kandas maka filem itu tidak akan sempurna jadinya. Ada seorang seniman mengatakan bahwa untuk sementara ini di Indonesia tidak mungkin membuat filem yang baik jika belum ada seorang editor filem yang betul-betul ‘seniman’.

Keyakinannya ini bukan tidak pada tempatnya, karena sineas Rusia yang terkenal, Pudovkin, telah membuktikan dalam filem dan pemikiran-pemikirannya bahwa em>montase adalah jiwa dari filem. Pada pokoknya seni Pudovkin, juga Eisenstein terletak pada ‘menimbulkan gambar ketiga dari dua gambar tersusun’. Dalam jargon filem hal ini disebut dynamic cutting. Memang benar, bahwa hampir semua filem Indonesia boleh dikatakan tidak di-’edit’ sama sekali, sehingga irama dari filem-filem itu tidak karuan. Tapi, juga seorang editor harus belajar. Dan tiada akan pernah muncul sebuah filem yang baik jika editornya tidak mendapat kesempatan belajar dan melatih diri. Soal ini sudah agak menyimpang sedikit. Kita akan kembali pada pokok asal kita, “sebuah laporan tentang persiapan pembuatan filem Lewat Djam Malam”.



Cerita Lewat Djam Malam berpangkal pada sebuah berita yang disiarkan oleh surat kabar Abadi. Koresponden surat kabar ini memberitakan bahwa di Solo telah terjadi sebuah perampokan. Dalam pemeriksaan yang dilakukan ternyata di dalamnya tersangkut beberapa orang pelajar sekolah menengah. Sebagai sebab, mengapa sampai pelajar-pelajar ini menggedor, maka koresponden ini menyatakan bahwa hal tersebut mereka lakukan karena mereka telah keranjingan uang untuk berfoya-foya. Saudara Asrul Sani yang mengarang cerita Lewat Djam Malam membaca berita ini dan berpendapat bahwa koresponden Abadi dalam mengemukakan sebab tersebut telah berlaku sangat semberono. Ia berpendapat, bahwa tidak semua orang merampok karena uang atau karena keinginan berfoya-foya. Ia tidak percaya bahwa pelajar-pelajar ini telah begitu buruk wataknya sehingga alasan-alasan perampokan mereka ini disamakan dengan alasan-alasan bajingan biasa. Mungkin sekali hal ini berpangkal pada suatu hal yang lebih dalam yaitu pada suatu jiwa yang telah terbiasa dengan suatu keadaan yang telah dipindahkan ke dalam situasi yang berbeda dimana jiwa itu merasa sangat asing dan yang empunya mencoba menghidupkan ‘jiwa’ yang mati itu.

Kemudian surat yang diterbangkan angin di atas jalan gelap dan se-iklim dimana jiwa itu mungkin mendapat keserasian kembali. Jelasnya, ‘pemuda-pemuda ini adalah bekas pejuang (hal ini disebutkan dalam berita tersebut)’. Selama perjuangan itu yang mereka pikirkan hanyalah soal perjuangan sehingga hal ini telah mengisi kehidupan mereka, mengatur kehidupan mereka dan menimbulkan nilai-nilai yang menyebabkan kehidupan mereka mempunyai tujuan. Tatkala perjuangan telah selesai mereka ditempatkan di tengah masyarakat biasa, dimana iklim yang pertama tidak ada sama sekali. Dalam suasana seperti ini mereka sadari dengan baik adanya kekosongan dalam hidup mereka. Tujuan tidak nyata, hari besok seolah-olah akan selama-lamanya serupa dengan hari ini. Dan karena itu mereka mencari “bumi” kembali untuk mengembalikan isi yang tadinya ada dalam dada mereka. Dan inilah yang menyebabkan mereka mempermainkan senjata kembali, bukan karena kesukaan pada senjata atau pada kemewahan, tapi karena “kemutlakan sensasi pada suatu saat yang dapat membuat hidup mereka berarti kembali”.

Lewat Djam Malam (1954) Dhalia sebagai Laila

Saya tidak dapat mengatakan, apakah teori ini benar apa salah, karena saya tidak mengetahui kelanjutan dari pemeriksaan pelajar-pelajar ini. Saudara Asrul juga tidak memperdulikan kelanjutan pemeriksaan itu, karena ia telah melepaskan pendapatnya ini dari berita itu sama sekali dan mencoba merekamkan pendapat itu dalam sebuah cerita filem karena ia melihat kisah ini dalam angan-angannya sebagai gambaran-gambaran yang dramatis. Ia lihat anak muda yang kembali dengan penat dan tenang dari perjuangan pada waktu hampir tengah malam. Wajahnya tidak kelihatan, hanya kakinya dan bunyi berjalan, kemudian sebuah tembok, lalu sebuah jam, lalu sebuah pengumuman.

Pada awal adegan ini telah kita rasa bahwa ia pun yakin pada dasar dynamic cutting seperti seorang kawan yang pendapatnya telah saya kemukakan di atas. Hal ini dapat dilihat lagi bagaimana ia akhirnya menutup filem. Pemuda itu mati. Ditembak di tikungan jalan. Tangannya memegang sehelai surat yang mau ia kirimkan pada seorang gadis. Ia berlari ke arah bus surat. Waktu ia ditembak surat itu jatuh ke jalan. Lalu kamera mengambil wajah distance-shot dari jalan yang lurus dan sunyi. Secara singkat cerita itu adalah seperti berikut, “Iskandar, seorang pejuang kembali dari perjuangan pada jam hampir tengah malam. Waktu itu ada pengumuman jam malam yang akan mulai pada pukul 12 tepat. Iskandar pulang ke rumah tunangannya yang tinggal bersama saudara tuanya bahwa di antara mereka ada sesuatu yang tidak cocok. Gadisnya tetap seperti dulu, periang, tidak pernah mengenal kepahitan seperti yang ia derita dan menganggap bahwa revolusi telah berakhir dengan suatu kemenangan dan karena telah berhasil, kehidupan dilanjutkan seperti biasa lagi. Hal ini tidak dapat diterima Iskandar.

Bukan karena ia tidak mau, tapi karena sangat ganjil baginya. Ia mencoba menemui beberapa pemimpin yang ia kenal. Tapi pemimpin yang selama revolusi itu sebetulnya selalu berada di garis belakang dan hanya banyak omong saja sehingga tidak mengetahui sama sekali apa yang terjadi dalam diri pemuda-pemuda itu.

Menganggap revolusi ini sebagai kesempatan merubah nasib, dari pangkat komis menjadi pegawai tinggi dan dengan demikian menganggap revolusi ini hanya suatu kejadian yang memberikan kepada mereka kesempatan untuk memperoleh jabatan yang lebih tinggi dan meniru segala perbuatan majikan-majikan yang dulu mereka benci. Pemimpin-pemimpin ini sangat cepat kembali ke dalam keadaan biasa dan karena itu segera menduduki kedudukan yang terjamin. Iskandar juga datang menemui mereka. Mereka menganggap Iskandar sebagai seorang yang mengganggu “gewetan-gewetan” mereka sebab itu ia dipuralupakan atau ditolak dengan pelbagai kebohongan. Iskandar kemudian bertemu dengan salah seorang kawannya yang juga mempunyai perasaan yang sama dengan dia. Kawan ini telah lebih dulu kembali. Karena itu lebih tahu bagaimana sakitnya hidup sebagai seorang bekas pejuang. Seorang anak muda, Pudja, merasa hatinya disakiti oleh masyarakat dan karena itu mau membalas. Sebagai alasan, ia pun mengemukakan bahwa ia cuma mau “mengajar”.

Iskandar menolak. Sebagai seorang anak muda yang terpelajar ia mencoba mencari hiburannya pada buku-buku, tapi dalam hal ini ia ternyata tidak dapat memusatkan pikirannya. Sambil membawa kesulitan-kesulitannya sendiri ia meninggalkan tunangannya. Di suatu pagi, ia sampai di depan museum Jakarta. Hatinya tertarik dan masuk ke dalam. Lalu kita melihat adegan dalam ruang baca yang gelap. Kita bertanya dalam hati, ‘mengapa pengarang mengambil adegan ruang baca yang besar dan gelap ini?’.

Pengarang menyatakan bahwa ia menginginkan shot-shot yang ‘jauh’ disini. Serta merta pengarang seolah-olah hendak mencoba memperoleh efek-efek yang diciptakan oleh Orson Welles dalam filemnya “Citizen Kane”. Dalam kamar baca itu, diujung meja Iskandar, duduk seorang arsitek yang sedang belajar. Dalam ruang itu hanya terdapat dua orang dan mereka berpandang-pandangan. Iskandar yang sudah 24 jam tidak makan merasa kepalanya pusing lalu jatuh dari kursi. Arsitek itu berdiri dan membantu Iskandar. Demikian mereka berkenalan. Iskandar kemudian dibujuk oleh Pudja yang mengatakan bahwa dunia mereka lain, bukan dunia ini. Dunia yang lama itu harus dihidupkan kembali jika mereka ingin melanjutkan hidup. Iskandar keluar lewat jam malam untuk melakukan kejahatan. Darahnya yang selama ini dingin panas kembali. Jika hari siang ia pergi ke rumah arsitek itu. Sedangkan jika jam malam tiba ia bergerak.

Kekasihnya mencoba mencari dan membawanya ‘kembali’ tapi sia-sia. Iskandar yakin bahwa ia hanya akan jadi boneka mati di tengah kehidupan yang dijalankan oleh tunangannya. Ia melanjutkan kejahatannya. Tapi di suatu siang ia mendengarkan cerita arsitek yang bertentangan dengan kejahatan yang ia lakukan. Di sana ia mencoba memuaskan sisi dirinya yang masih bersih. Hal ini tidak bisa berlangsung terus karena Pudja selalu menghendaki dan menghasut supaya Iskandar merampok arsitek itu. Pada saat itu timbullah kebimbangan yang tak dapat ia atasi. Ia datang kepada arsitek itu malam hari untuk melihat-lihat lalu mereka bercakap tentang kehidupan manusia. Arsitek itu menyatakan bahwa banyak orang berani menghadapi maut tapi sering takut menghadapi kehidupan. Orang takut mulai pada nol dan dengan demikian tak sedikit juga mengerti revolusi yang telah berlangsung. Iskandar mencoba mempertahankan diri karena ia merasa seolah-olah arsitek itu menyindir. Biarpun ia sendiri tak tahu apakah arsitek itu tahu dengan apa yang ia lakukan setelah jam malam. Dalam kegugupannya ia mengeluarkan senjata api. Ketika ia dipandangi oleh arsitek itu, terasa sesal dalam hatinya. Arsitek itu mengatakan bahwa sebetulnya ia tahu siapa Iskandar. Bahwa Iskandar berada dalam suatu konflik yang berat. Mereka berbicara dan sebagai hasilnya, Iskandar percaya bahwa satu-satunya jalan baginya ialah kembali kepada tunangannya yang dianggapnya sebagai lambang dari kehidupan biasa. Pendapat ini begitu menggembirakan. Seolah-olah ia telah mengambil suatu keputusan yang selama ini tak berani ia ambil. Ia pun meminta sehelai kartu pos kepada arsitek itu. Ia tidak mungkin lagi pergi ke rumah tunangannya karena hari telah larut, tapi ia akan menumpahkan isi hatinya dan memastikan putusan yang ia ambil di atas sepucuk surat yang akan ia kirimkan kepada tunangannya. Waktu menunjuk pukul 12. Ia mau masukkan surat itu ke bus surat tapi Arsitek mengingatkan akan adanya jam malam. Lalu Iskandar mengatakan bahwa selama ini setiap lewat jam malam ia melakukan kejahatan dan sekali ini ia akan melakukan kebaikan. Dengan ucapan itu ia keluar rumah lalu berlari ke arah bus surat. Waktu itu ada prajurit-prajurit yang sedang mengadakan patroli. Mereka melihat Iskandar lalu memberi peringatan tiga kali supaya berhenti. Setelah itu salah seorang dari prajurit melepaskan tembakan dan Iskandar pun rebah ke bumi. Suratnya jatuh dan terbang ditiup angin. Demikian secara ringkasnya.

Lewat Djam Malam (1954) AN Alcaff dan Netty Herawati

Usmar Ismail bersedia menjadikan cerita ini filem. Tapi ia meminta supaya Asrul Sani rela merubah adegan terakhir. Usmar menyatakan –waktu itu Perfini baru saja menerbitkan filem “Dosa Tak Berampun”– bahwa Perfini mulai dikenal masyarakat sebagai perusahaan filem yang membuat ‘filem-filem sedih’. Karena itu ia ingin supaya akhir filem dibuat agak gembira sedikit. Waktu saya tanya Asrul Sani perihal ini, ia menjawab, “Saya tidak bisa membuat akhir yang lain. Iskandar tidak bisa hidup terus dan berbahagia, karena ia harus memikul konsekuensi dari perbuatannya merampok dan membunuh orang biarpun perbuatan ini ia lakukan dengan alasan-alasan istimewa. Kemungkinan yang lain ialah memasukkan Iskandar ke dalam penjara. Yang ia terlalu prozaisch!” Usmar menjawab, “Bukan maksud saya begitu. Tapi misalnya, surat yang ia tulis itu sampai ke tangan tunangannya, sehingga publik dapat merasa betul-betul, bahwa ia tidak mati sebagai bajingan.”

Sampai di sini percakapan terhenti. Cerita Lewat Djam Malam disimpan dalam arsip Perfini dan tidak dibicarakan lagi. Kapan cerita ini akan dijadikan filem belumlah diketahui kala itu. Sehabis menulis cerita itu, Asrul Sani menulis kisah lain untuk filem, Tiga orang kawan dan sebuah lagu yang kemudian dijadikan skenario oleh Gayus Siagian dan dijadikan filem oleh suteradara Djajakusuma dengan judul Terimalah Laguku.

Beberapa lama sebelum itu, Usmar Ismail sudah mempersiapkan diri untuk berangkat ke Amerika. Sampai saat terakhir ia akan meninggalkan Indonesia belum juga dipastikan kapan filem “Lewat Djam Malam” akan dibuat. Hal ini terjadi di tahun 1951. Kemudian saudara Gayus Siagian sebagai Ketua Departemen Skenario Perfini berangkat ke Eropa dan sesudahnya juga Asrul Sani. Perfini sementara itu tidak membuat filem–filem terakhir ialah “Terimalah Laguku”– sampai Usmar Ismail kembali dan membuat Kafedo.

Saudara Djamaludin Malik, pemimpin Persari, merasa bahwa dari sudut keuangan perusahaannya mempunyai sedikit kekuatan sedikit. Hal ini memunculkan niat untuk membuat, disamping filem-filem komersial, tetapi juga filem-filem yang sanggup memberikan nama baik kepada Persari yaitu membuat filem-filem yang tidak mementingkan segi-segi komersil tapi hanya segi artistik saja. Dalam pertemuannya dengan saudara Asrul Sani diputuskan bahwa setiap enam filem yang diproduksi oleh Persari, satu diantaranya akan disediakan untuk melakukan percobaan-percobaan untuk meningkatkan mutu seni filem Indonesia. Djamaludin Malik berpendapat bahwa sekali-kali Indonesia harus terlibat dalam festival filem internasional dan memperoleh nama di luar negeri. Waktu itu Asrul Sani menulis sebuah skenario “Kota Kehidupan”, skenario yang kemudian ia tarik kembali dan sebagai gantinya ia mengemukakan sebuah kisah karangan Herman Pratikto. Saudara Djamaludin Malik sendiri telah membeli karangan Utuy T. Sontani “Awal dan Mira” dan ia ingin supaya karangan ini dijadikan filem. Tapi kekandasan almarhum Dr. Huyung dari Kino-Drama Atelier dalam filemnya “Bunga Rumah Makan” yang juga didasarkan atas sandiwara satu babak karangan Utuy T. Sontani menyebabkan bagian skenario Persari agak sedikit gentar untuk menjadikan “Awal dan Mira” yang juga sandiwara satu babak menjadi sebuah filem panjang.

Pada masa itu di Manila telah diadakan konferensi produser-produser filem Asia dan diputuskan bahwa kira-kira pada pertengahan tahun 1954 di Tokyo akan diadakan semacam festival filem Asia. Dari Indonesia berangkat saudara Usmar Ismail (Perfini) dan saudara Djamaludin Malik (Persari). Sekembali mereka dari sana, mereka bertekad bahwa Indonesia juga akan turut festival film Asia. Filem itu akan dikerjakan bersama dari tiga perusahaan yaitu P.F.N., Persari dan Perfini. Namun di saat-saat terakhir, P.F.N. tidak bisa terlibat dan dengan demikian Perfini dan Persari lah yang meneruskan usaha ini. Sebagai produser akan bertindak Djamaludin Malik dan sebagai suteradara Usmar Ismail. Usmar Ismail diminta dengan mengusulkan cerita yang patut dibuat. Usmar pun kembali membongkar arsip Perfini dan mengeluarkan cerita “Lewat Djam Malam”. Demikianlah, setelah tertunda kira-kira tiga tahun telah diperoleh kebulatan hati untuk memindahkan “Lewat Djam Malam” dari atas kertas ke atas seluloid.

Brosur World Cinema Foundation di Cannes Classics

Sumber: Mingguan SIASAT, No. 366/Tahun VIII, 13 Juni 1954, hlm. 22-23 & 27

No comments:

Post a Comment