"Lewat Djam Malam": Ketika Kenyataan Tak Sesuai Harapan

Tampak langkah gontai sesosok pria. Tak lama, langkah gontai berganti langkah cepat, lanjut berlari. Di belakang pria tersebut, serombongan tentara menenteng senapan mengejarnya.

Yang dikejar, terengah, namun terus berlari. Hingga berhenti di depan sebuah rumah. Pria tersebut masuk ke rumah, tergesa. Sang perempuan menoleh gemulai. Dengan air muka khawatir, ia sambut pria tersebut. "Is.." ucapnya.

Itulah adegan prolog film lawas Indonesia besutan Usmar Ismail, Lewat Djam Malam, produksi tahun 1954. Mengisahkan sekelumit persoalan yang melilit sang tokoh utama, Iskandar, yang diperankan apik oleh A.N.Alcaff.

Is, sapaan akrab Iskandar, adalah mantan tentara. Setelah berkubang lama dengan persoalan militer hingga pernah diperintahkan membantai satu keluarga, Is memilih keluar dari tentara atau dia sebut "turun gunung".



Kedatangan Is telah ditunggu tunangannya Norma, diperankan oleh Netty Herawati. Is ingin merajut kembali kisah cinta dan membangun hidup bersama tunangannya itu.

Intinya ia datang untuk kembali menjadi rakyat biasa, hidup berkecukupan, dan membangun keluarga.

Harapan Is tampak sederhana. Namun kenyataan pascakemerdekaan tak sesederhana impian dan idealisme Is.

Berawal dari desakan sang calon mertua, ayah Norma yang memintanya segera bekerja. Ayah Norma pun memanfaatkan koneksinya di kantor gubernur setempat untuk memberi Is pekerjaan.

Namun, pada hari pertama, Is langsung bertengkar dengan atasannya. Ia merasa tak cocok kerja di belakang meja. Masa lalunya sebagai tentara masih membekas, ia masih ingin membela negara, bekerja di lapangan. Atasan Is mengamuk.

Merasa mengacaukan kesempatan yang diberikan calon mertuanya, Is lari ke proyek konstruksi milik teman akrabnya semasa masih jadi tentara, Gafar.

Bertemu Gafar, Is mencurahkan isi hatinya. Betapa ia bingung melihat situasi pascakemerdekaan.

Is mengadu, ia tak lihat ada kesederhanaan. Bahkan Gafar, yang ia mintai tolong carikan pekerjaan pun sibuk membantah curahan hati Is. Menurut Gafar, yang ada pascaIndonesia merdeka adalah kepentingan diri sendiri. Tak ada lagi toleransi sana-sini.

Tak juga merasa cocok dengan pola hidup dan apa yang ditawarkan Gafar, Is melarikan diri menemui bekas komandannya, Gunawan.

Kini Gunawan telah menjadi pengusaha sukses di Bandung. Kepada Is, Gunawan menawarkan pekerjaan mengancam orang-orang yang tak mempermulus jalan usahanya. Kasarnya, Is akan ia jadikan centeng.

Gunawan gemas melihat idealisme mantan anak buahnya tersebut.

"Kalau mau jujur jangan hidup di sini, pergilah ke hutan atau gunung," tutur Gunawan.

Lagi-lagi Is berang akan tawaran Gunawan. Is pergi tak tentu arah hingga di depan sebuah kedai kopi, Puja, bekas anak buah Is menyapanya. Berbeda dengan Gafar dan Gunawan, Puja tak punya apa-apa.

Tak punya usaha maupun pekerjaan. Ia kini menjadi peminum, penjudi, sekaligus centeng rumah bordil. Di rumah bordil inilah Is berkenalan dengan Laila, seorang perempuan yang menjadi pelacur setelah ditinggal suaminya.

Harapan Is Berujung Kecewa
Kehidupan Is sebagai tentara tak membiarkannya berkenalan dengan kehidupan lain. Dahulu, Is banyak bergaul dengan warga kampung yang bahkan dengan ikhlas memberi ayam peliharaannya yang ditemukan Is. Namun setelah turun gunung, Is mendapati manusia-manusia serakah.

"Tidak ada tujuan lagi selain bikin duit," kata Puja.

Bahkan Is merasa pusing dihadapkan dengan kehidupan borjuis ala keluarga Norma. Pesta penyambutan dirinya, dansa-dansi ala Eropa, Is rasa tak cocok dengan dirinya.

Merasa teramat kecewa dan dibohongi, Is pun menjadi kalap. Ia tembak mati Gunawan. Pasalnya, dari informasi Puja, Is mendapati kenyataan bahwa Gunawan menyuruhnya membantai satu keluarga agar harta keluarga tersebut bisa dibawa lari oleh Gunawan.

Menurut Puja, keluarga tersebut bukan pemberontak, seperti yang dikatakan Gunawan. Is merasa diperalat. emosinya memuncak, dan tega menghabisi nyawa mantan kompatriotnya itu.

Masih Relevan
Kemerdekaan dari rezim tertentu tak pernah jadi jaminan Indonesia benar-benar merdeka. Sama seperti yang ingin digambarkan oleh Usmar, pascakemerdekaan pun Indonesia masih berada di tangan yang sama, hanya beda tampilan muka penguasanya.
"Duet maut" Usmar Ismail sebagai sutradara dan Asrul Sani sebagai pembuat skenario memang patut diacungi jempol. Film ini juga yang dipilih Lembaga perfilman Sinematek Indonesia untuk direstorasi hingga hasilnya 90 persen mendekati aslinya.

Dialog yang ada dalam film sangat mengena dan menyentil. Asrul amat piawai menggambarkan masyarakat Indonesia yang hedonis nan oportunis pascakemerdekaan melalui dialog yang ia buat.

Karya Usmar tersebut menyabet pemenang Film Terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) 1955 dan Sutradara Unggulan di ajang Asian Film Festival 1955.

Lewat film ini pula, masyarakat Indonesia seakan diajak berkaca, apakah Anda melakukan hal yang sama? Masihkan Indonesia seperti yang digambarkan Usmar?

Epilog
Is adalah orang biasa, yang tak mampu berbuat apa-apa. Buktinya, ia hanya mampu membalas dendam kepada mantan komandannya, tapi tak mampu mengubah keadaan.

Seusai membunuh Gunawan, Is ketar-ketir. Ia berlari menyusuri Bandung, kembali lewat jam malam. Sudah diduga, kali ini raungan mobil serombongan tentara yang mengejarnya, menyuruhnya berhenti berlari.

Laju kaki Is pun makin cepat. Is tak acuhkan perintah untuk berhenti. Hingga lolongan senapan mengoyak sunyinya malam. Is tertembak tepat di kaki, dan tepat di depan rumah Norma. Kali ini bukan pandangan rindu dan panggilan manja Norma yang menyambutnya. Yang ada hanya tangisan Norma sembari memanggil lirih nama kekasihnya, "Is.."

Sumber: Kompas.com

No comments:

Post a Comment