Giliran Bekasi dan Balikpapan...

Main:
Bekasi: 1 Agustus - sekarang
Mega Bekasi XXI 13:00 - 15:00 - 17:00 - 19:00 - 21:00
Balikpapan: 1 Agustus - sekarang
Studio Pasar Baru Square XXI 12:30 - 14:40 - 16:50 - 19:15 - 21:10

Turun Main:
Tangerang: 21 - 27 Juni
Blitzmegaplex – Teraskota, Serpong 12:30 – 21:40
Bandung: 21 - 27 Juni
Ciwalk XXI 12:45 – 14:55 – 17:05 – 19:15 – 21:25
Blitzmegaplex – Paris Van Java, Bandung 17:00 – 19:30
Makassar: 29 Juni - 5 Juli 2012
Panakkukang XXI 12:45 – 14:55 – 17:05 – 19:15 – 21:25
Surabaya: 5 - 11 Juli
Sutos XXI 12:45 – 14:55 – 17:05 – 19:15 – 21:25
Jakarta: 21 Juni - 31 Juli
Plaza Senayan XXI 15:00 - 19:45
Blitzmegaplex – Grand Indonesia 16:50 – 21:15
Pondok Indah I XXI - PIM 1 12:15 - 14:15 - 16:15
TIM XXI 13:00 - 15:10 -17:20 -19:30 - 21:40
Malang: 26 Juli - 30 Juli
Malang Town Square (MATOS) 13:30 - 15:30 - 20:30
Yogyakarta: 13 Juli - 27 juli
Ambarukmo Plaza XXI - 12:30 - 16:55 - 21:20

Update jumlah penonton 22 Juli: 5.116


Berdasarkan laporan penjualan tiket dari 21 Cineplex dan Blitzmegaplex, sampai tanggal 22 Juli 2012 jumlah penonton film “Lewat Djam Malam” terus bertambah. Di minggu ke-5 ini, film “Lewat Djam Malam” masih diminati masyarakat.

Update jumlah penonton #LewatDjamMalam sampai 22 Juli: 5.116 orang. Siapa belum nonton? (@scriptozoid)

Siapa belum menonton? Tunggu di bioskop terdekat dan jangan lewatkan penayangannya.

Berkawan dengan Kelampauan lewat "Lewat Djam Malam"

“Film ‘serius’ sering ditinggalkan penonton…”, begitu kalimat yang menggaung di kepala saya waktu berniat menonton “Lewat Djam Malam” (LDM). Begitu tiba tempat pembelian karcis, mata saya tertuju pada layar komputer si kasir. Ada duapuluhan kursi Studio 5 XXI Mal Panakkukang sudah terisi. Lumayanlah, pikir saya, tidak sampai menonton bertiga saja.

Kata ‘serius’ di dalam kalimat tadi bisa saja berarti ‘film drama’, ‘fakir adegan kelahi’, ‘minim adegan tembak-tembakan’, ‘kurang adegan percintaan’, ‘mesti mengerutkan kening’, atau ‘tanpa banyolan’.

Tapi saya yang lama menanggalkan status pelanggan XXI. Setelah empat tahun, LDM-lah yang menyeret saya menjejakkan kaki ke lantai berkarpet jaringan bioskop ini. Itu juga saya baru sadar ketika mau membayar karcis masuk seharga tiga puluh ribu rupiah. Masih terang-benderang di ingatan, terakhir saya menonton film masih membayar lima belas ribu rupiah. Saya lupa judul film terakhir yang saya tonton di bioskop. Bahkan perubahan tipologi “Bioskop 21” menjadi “XXI” pun belakangan saya tahu. Saya segan datang ke bioskop XXI sejak mengenal Amélie (2001) yang diikuti gelombang film-film Eropa, Turki, atau Iran yang sudut pandangnya lebih ‘galak’ dan terasa realistik. Film yang banyak dipertontonkan XXI kebanyakan film buatan Hollywood—gambarnya tak liar dan sudut pandang yang sangat biasa.

Penayangan "Lewat Djam Malam" di Yogya diperpanjang

Kabar baik! Warga kota Yogyakarta dan sekitarnya masih bisa menikmati hasil restorasi "Lewat Djam Malam" karena respon penonton yang cukup meminati film klasik karya Usmar Ismail ini.


Sebagaimana disampaikan Totot Indrarto lewat akun twitternya @pakde perpanjangan masa tayang ini akan berlaku 7 hari ke depan, namun jumlah layar dikurangi hanya tinggal 3 layar saja dari 5 layar sebelumnya.



Terima kasih warga Yogya yang sudah menonton! Bagi yang belum, masih terbuka kesempatan.


Selewat Zaman "Lewat Djam Malam"

Saya belum mendapatkan gambaran bagaimana respon masyarakat, dan media, pada medio 50-an terhadap film Usmar Ismail Lewat Djam Malam. Adakah yang merasa tertampar?

Film ini menampilkan cermin masyarakat Indonesia yang sebagai nasion baru tampak gamang meniti kemerdekaan. Revolusi hanya menjadi jargon, toh nyatanya bagi sebagian orang tak ada perubahan besar.
 Pada tahun edar film itu, 1954 (lima tahun setelah penyerahan kedaultan dari Belanda kepada RI melalui Konferensi Meja Bundar), tentu saja saya belum lahir. Sambil menonton film Usmar (kredit di layar menuliskannya “Usmar Isma’il”) saya mencoba mengingat-ingat beberapa sosok pejuang yang pernah saya kenal sejak saya bocah hingga remaja.

Fragmen revolusi: tak sepenuhnya suci
Dulu saya beroleh kesan mereka, orang-orang sepuh itu, sangat membanggakan masa revolusi dan segala “perdjoangan” bahkan pengorbanan masing-masing. Sebagian dari mereka acap menggerutu bahwa kemerdekaan belum mewujudkan cita-cita berikutnya, yaitu masyarakat adil dan makmur. Nasib diri menjadi contoh terdekat.


Update Jumlah Penonton #LewatDjamMalam: 4.346 orang

Update jumlah penonton film "Lewat Djam Malam" berdasarkan informasi berdasar keterangan Totot Indriarto @pakde. Total sudah sebanyak 4.346 orang menonton film ini di jaringan XXI dan Blitzmegaplex per 15 Juli 2012. Siapa menyusul? Film masih akan terus beredar di bioskop terdekat, simak terus jadwalnya di blog ini.

"Lewat Djam Malam": Sebuah Rekaman Vulgar

Hari Minggu yang lalu saya memutuskan untuk akhirnya menonton Lewat Djam Malam. Sebuah proyek restorasi yang sayangnya tidak didukung oleh pemerintah Indonesia, tetapi mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah Singapura. Miris. Tapi apa mau dikata. Lebih baik restorasi film ini tetap berjalan daripada harus berlama-lama menunggu pemerintah kita ikut mendukung dalam proyek ini. Lewat Djam Malam diputar pada jam 21.25 WIB. Sama seperti judulnya, sudah lewat jam malam. Menurut saya, terlalu malam untuk diputar pada waktu tersebut. Tak heran, ketika masuk studio, lebih dari setengah kursi penonton tidak terisi. Miris. Lagi.

Film dibuka dengan iringan lagu ‘Sepasang Mata Bola’. Lagu depresif. Diikuti dengan langkah kaki yang menuntun saya untuk mengetahui siapa-siapa saja yang ada di balik layar. Tahun 1954. Tercatat tahun produksi film. Saya menikmati membaca nama-nama di credit-title awal. Meskipun hanya satu orang yang saya tahu, yaitu Usmar Ismail sebagai sutradara film. Menyaksikan sejarah yang lahir kembali diiringi dengan lagu depresif dan langkah kaki yang tak jelas akan kemana, siapa yang tidak akan terbawa ke dalam nelangsanya sendiri?

Adegan awal pertama cukup menjelaskan latar belakang dari judul film. Lewat Djam Malam. Melalui papan besar yang tercatat di ujung jalan, dijelaskan adanya jam malam yang berlaku di Bandung. Pasca-kemerdekaan. Saya sudah dapat membayangkan bahwa film ini seterusnya akan menjelaskan bagaimana sulitnya menembus dimensi baru pasca-kemerdekaan. Yang dulunya perang fisik, kini menjadi perang melawan diri sendiri. Perang untuk mendapatkan kehidupan yang layak setelah habis-habisan mengusir penjajah di tanah air. Alur cerita berjalan seperti yang saya bayangkan. Iskandar, sebagai tokoh utama dari film ini digambarkan sebagai tentara yang baru saja kembali dari medan perang. Mencari rumah sang kekasih yang menunggunya dengan setia. Benar, ini cerita klasik.


Update Jumlah Penonton "Lewat Djam Malam" per 7 Juli 2012

Ini dia penambahan jumlah penonton film "Lewat Djam Malam" berdasarkan informasi yang disebarkan oleh Film Indonesia (@filmID_) via twitter pada 10 Juli 2012 lalu. Total sudah sebanyak 3.522 orang menonton film ini di jaringan XXI dan Blitzmegaplex per 7 Juli 2012. Siapa menyusul? Film masih akan terus beredar di bioskop terdekat, simak terus jadwalnya di blog ini.

Lapisan Pemaknaan dalam "Lewat Djam Malam

“Barang siapa yang tidak kuat melawan kelampauan akan hancur” — Gafar

I

Revolusi baru saja berakhir. Seorang mantan pejuang yang kelimpungan menyesuaikan diri dengan situasi pasca-revolusi bertemu pelacur yang merawat sisa-sisa nyala kehidupannya dengan mengkliping iklan-iklan di majalah LIFE. Laila, pelacur itu, tak becus melafalkan nama “LIFE”. Iskandar, mantan pejuang itu, membetulkan pelafalan Laila: “Itu LIFE. Bacanya La-if. Majalah Amerika. Memang mau dibeli semua?” Scene itu memukau saya. Dengan mengingat konsep “obtuse meaning” yang diperkenalkan Roland Barthes, kombinasi antara “salah pelafalan”, “majalah Amerika”, “perempuan/pelacur yang mengkliping iklan-iklan produk asing”, sampai “mantan pejuang yang gelisah” memberi saya ruang yang lapang untuk menyusun (pem)baca(an)-(pen)tafsir(an) pada film Lewat Djam Malam.

II

Saat pertama kali menonton Lewat Djam Malam, perhatian saya terbetot dengan rentetan kritik sosial yang dihamparkan Usmar Ismail melalui perjumpaan Iskandar dengan situasi pasca-revolusi. Melalui Iskandar, satu per satu situasi pasca-revolusi dijlentrehkan tanpa tedeng aling-aling: korupsi, birokrasi yang lamban, revolusi yang diboncengi oportunisme, militerisme yang merembes pada kehidupan sipil, sampai borjuasi baru yang menikmati kemerdekaan dengan gratis.

Membaca Lewat Djam Malam dari sudut itu pun sebenarnya sudah menghadirkan pengalaman sinematik yang memuaskan. Menakjubkan menyadari Usmar Ismail (dan Asrul Sani sebagai pemilik ide cerita dan penulis skenario) sudah berhasil dengan jitunya memotret Indonesia yang masih belia dan memampangkan potret itu dengan sedemikian rupa sehingga tetap relevan sampai sekarang. Dalam banyak hal, potret Indonesia dalam Lewat Djam Malam sebenarnya masih sama dengan potret Indonesia kini: korupsi, lambannya birokrasi, militerisme yang masih merembes dalam cara berpikir masyarakat sipil sampai soal borjuasi kelas menengah yang acuh tak acuh. Itu sebabnya Lewat Djam Malam bisa dibilang karya klasik sekaligus kontemporer.

"Lewat Djam Malam": Ketika Kenyataan Tak Sesuai Harapan

Tampak langkah gontai sesosok pria. Tak lama, langkah gontai berganti langkah cepat, lanjut berlari. Di belakang pria tersebut, serombongan tentara menenteng senapan mengejarnya.

Yang dikejar, terengah, namun terus berlari. Hingga berhenti di depan sebuah rumah. Pria tersebut masuk ke rumah, tergesa. Sang perempuan menoleh gemulai. Dengan air muka khawatir, ia sambut pria tersebut. "Is.." ucapnya.

Itulah adegan prolog film lawas Indonesia besutan Usmar Ismail, Lewat Djam Malam, produksi tahun 1954. Mengisahkan sekelumit persoalan yang melilit sang tokoh utama, Iskandar, yang diperankan apik oleh A.N.Alcaff.

Is, sapaan akrab Iskandar, adalah mantan tentara. Setelah berkubang lama dengan persoalan militer hingga pernah diperintahkan membantai satu keluarga, Is memilih keluar dari tentara atau dia sebut "turun gunung".

"Lewat Djam Malam" Recommended Abis!


Tadi malam, ketika stres mentog berjam-jam panjang mantengin tesis udah bingung mau diapakan, seorang teman menyarankan saya untuk take some time off. Nonton mungkin? Melihat jadwal bioskop, film Lewat Djam Malam sudah mulai tayang. Sayapun berangkat.

Saya membeli tiket satu jam sebelum waktu tayang. Ketika menyebutkan film pilihan, mbak penjaga loket bilang “ini filmnya hitam putih pakai subtitle gitu lho, mbak”. Iya nggak papa. Memang film itu yang ingin saya lihat. Rupanya studio masih kosong. Sayapun bebas memilih kursi tengah, posisi favorit. Tiket di tangan. Sembari menanti, saya bertanya-tanya apakah ini saatnya salah satu angan-angan saya jadi nyata: menguasai studio sendirian! Like a boss!! Ahiahiahiahiahiahia……..

Wajah Indonesia Dalam Film "Lewat Djam Malam"


Lewat Djam Malam adalah sebuah film yang ditulis oleh Asrul Sani dan disutradarai Usmar Ismail. Film yang diproduksi pada tahun 1954 ini berhasil meraih penghargaan sebagai Film Terbaik FFI pada tahun 1955. Film ini sangat recommended untuk ditonton. Walau hitam putih, kualitas gambar film yang memang sudah direstorasi ini cukup bagus. Mengingat film ini dibuat 58 tahun yang lalu, tentunya teknologi tak sehebat sekarang.

Iskandar (AN Alcaff) adalah mantan mahasiswa sebuah universitas di Bandung yang ikut turun ke medan perang untuk memperjuangkan kemerdekaan. Selama 5 tahun, Norma (Netty Herawati), kekasih Iskandar dengan setia menanti kembalinya orang yang dia sayangi. Sosok Norma sendiri adalah putri seorang terpandang, tinggal di sebuah rumah mewah dan hidup berkecukupan. Sekembalinya Iskandar dari gunung, ia pun menumpang di rumah Norma.

Hari pertamanya di Bandung, Iskandar sudah membuat masalah. Sementara sang kekasih, Norma pergi bersama sang kakak untuk berbelanja keperluan pesta di Braga, Iskandar pergi meninggalkan kantor guberbur tempatnya bekerja menuju tempat kerja Gafar (Awaludin) , sahabat seperjuangan saat di medan perang. Gafar yang lebih dulu kembali ke kota, kini telah menjadi seorang pemborong. Ia membangun gedung sekolah dan perumahan rakyat.

"Lewat Djam Malam" di Festival Il Cinema Ritrovato Bologna

Restorasi film Lewat Djam Malam dijadikan studi kasus dalam program pendidikan restorasi film yang diadakan oleh federasi arsip film internasional (FIAF) di Bologna, Italia, pada Sabtu 30 Juni 2012 di Sala Cervi, Fondazione Cineteca di Bologna. Acara ini dilangsungkan sebagai bagian dari Film Restoration Summer School/FIAF Summer School 2012.

Cecilia Cenciarelli, kepala Chaplin Project di arsip film Cineteca di Bologna, bertindak sebagai moderator dalam panel ini dan menyebut proyek restorasi karya Usmar Ismail ini sebagai contoh sempurna kerjasama para pecinta film. ”Proyek restorasi Lewat Djam Malam menunjukkan bahwa para individu pecinta film lintas negara punya kekuatan untuk menggerakkan penyelamatan warisan sinema dunia,” kata Cenciarelli dalam sambutan pembukaannya. Ia juga menegaskan bahwa kasus proyek restorasi ini membuktikan bahwa restorasi film tidak hanya bisa dilakukan oleh institusi arsip pemerintah atau produsen film papan atas, tapi juga oleh sekumpulan pecinta film.

Panel studi kasus restorasi film Lewat Djam Malam diisi oleh Zhang Wenjie (National Museum of Singapore), Lintang Gitomartoyo (Yayasan Konfiden), Lisabona Rahman (mahasiswa preservasi film di Belanda), Douglas Laible (World Cinema Foundation) dan Davide Pozzi (L’immagine Ritrovata). Masing-masing narasumber menceritakan perjalanan proyek restorasi film produksi Indonesia tahun 1954 ini dari berbagai sudut pandang, mulai dari soal jaringan persahabatan para pelakunya, pentingnya proyek ini untuk sejarah sinema dunia, dan aspek teknis restorasi untuk dijadikan contoh bagi para pelaku restorasi film. 

Akumulasi Jumlah Penonton "Lewat Djam Malam" (Update 2 Juli 2012)

Sebagaimana dikabarkan oleh kritikus film Totot Indrarto lewat akun twitternya, jumlah penonton film "Lewat Djam Malam" dari jaringan XXI (21 Cineplex) sudah diumumkan mencapai 2.204 penonton. Ayo sempatkan menonton film klasik Indonesia terbaik ini di bioskop kesayanganmu.